Langsung ke konten utama

Kucing-Kucing Jalanan



Arucing kucing punya cerita


Candy Miaw bukan kucing pertama dalam keluargaku. Sejak aku kecil selalu ada kucing di rumah. Rekor terbanyak adalah 21 kucing ketika aku duduk di bangku SD. Kesukaan pada kucing itu pun menurun pada anak-anakku.

Kucing-Kucing di Jalan

Suatu hari kami ke rumah sakit karena si adek harus menjalani tes darah. Seekor kucing putih-kelabu menyambut kami di lobi rumah sakit. 


Kucing itu terus mengikuti ketika kami berjalan di sepanjang lorong rumah sakit hingga tiba di laboratorium. Ia duduk menunggu di luar laboratorium lalu kembali menguntit kami hingga lobi.
Hingga sekarang, hal itu masih sering terjadi. Entah apakah kami seperti ratu kucing atau memang ada bau dan “aura” kucing menempel di tubuh kami.

Persis seperti aku ketika kecil yang bisa berlama-lama berhenti di pinggir jalan untuk melihat seekor kucing, begitu pula anak-anak. Acara jalan-jalan sering berlangsung lama karena kami asyik memperhatikan kucing. 

Aku pernah berputar-putar di Pasar Gedebage karena si adek memutuskan menemui dan menyapa kucing-kucing yang ada di pasar itu. Kucing pasar, begitu kami menyebut mereka. Kami berhasil menemukan sebelas kucing sebelum akhirnya aku kelelahan.

Melapor SPT di kantor pajak pun jadi lama karena mereka ingin menemui kucing-kucing yang ada di kantin kantor. Setelah bertemu? Memberi makan dan bermain dengan kucing-kucing itu.

Arucing kucing punya cerita
Kucing di kantor pajak KPP Pratama Cicadas Bandung.

Kembang Telon di Pinggir Jalan

Minggu pagi itu, kami berjalan-jalan ke sekitar kompleks. Menjelajah, istilah anak-anak. Menyapa dan menghitung kucing yang kami temui di jalan pun menjadi salah satu kegiatan menyenangkan. Dari kucing ras yang berlari keluar dari rumah majikannya, hingga kucing kampung yang sedang mengendus-endus.

Lalu kami bertemu kucing itu. Sedikit lebih besar daripada Ken ketika pertama datang ke rumah kami. Kucing ini berbulu belang tiga. Hitam, putih, cokelat. 

Kucing kembang telon itu berlari pontang-panting setelah hampir terserempet motor. Setelah kucing itu berada di halaman sebuah toko, barulah kami dapat mengamatinya dengan saksama.

Kami memandangnya. Si kembang telon itu juga memandangi kami. Lalu, ia mendekati kami. Tanpa takut sedikit pun, ia menggesek-gesekkan tubuhnya di kakiku. Melihat polah si kembang telon yang sangat jinak itu, anak-anak langsung mengelus-elusnya.

Aku pun berjongkok dan ikut mengelus si kembang telon. Terlihat jelas kini tubuhnya yang kurus, bulunya yang kusam, dan beberapa bekas luka di tubuhnya.

Duh, siapa orang yang tega menjahati kucing seperti ini? Kucing ini sepertinya bukan kucing yang terlahir liar. Sepertinya pernah ada orang yang memeliharanya. Pernah ada yang merawatnya. Tindak-tanduknya sama sekali tak seperti kucing liar.

Ke mana majikannya? Apakah pindah rumah dan meninggalkan kucing ini? Atau kucing ini memang dibuang? 

Entahlah. Sebulan ini sepertinya “musim orang membuang” kucing di sekitar tempat tinggalku. Orang-orang dari luar kompleks pun pernah kedapatan membuang kucing di kompleks tempat aku tinggal. 

“Kalau di luar negeri ada cats protection, ya, Mi. Di Indonesia ada nggak?” komentar Kakak waktu itu. Kali ini dia diam saja, tak seperti biasanya jika bertemu kucing. Tangannya terus mengelusi kucing kurus itu.

Aku lihat matanya berkaca-kaca. Matanya masih memerah menahan tangis ketika aku mengajaknya meneruskan perjalanan.“Kasihan kucingnya, Mi.”

Aku tahu, dia ingin membawa kucing ini dan merawatnya di rumah. Tapi Candy Miaw, si ratu yang egois itu, tak suka jika ada kucing lain di rumah. 

Kakakku pernah membawa seekor anak kucing berbulu cokelat yang dibuang di dekat rumahnya. Bagaimanapun aku membujuk dan merayu Candy, dia tetap saja menyerang kucing kecil itu. 

Arucing kucing punya cerita
Si kecil yang tak diterima olehh Candy Miaw.


Jika tak menyerang, Candy akan tidur seharian di kamarku. Ia seolah-olah hendak mengatakan, “Ini kerajaanku. Kamu nggak boleh masuk ke sini!”

Kucing cokelat itu hanya bertahan sehari di rumah lalu kabur dan tak pernah ditemukan kembali.
Jadi, tidak mungkin membawa pulang si kembang telon ini. The Queen Candy Miaw pasti tak akan suka.

Si kembang telon terus berlari mengikuti kami.

“Mami, kasihan kucingnya. Dia pasti laper. Dikasih makan ya, Mi?”

Kasih makan apa? Kami hanya membawa sebotol air putih. Tak ada makanan. Jadi, kami pun masuk ke sebuah minimarket. Membeli makanan yang kira-kira bisa diberikan pada kucing kecil itu. Ketika kami ke luar dari minimarket, si kembang telon tak tampak lagi.

Hingga esok harinya, si kakak tak mau mendengar cerita “si kembang telon”. Jika adiknya keceplosan bercerita, dia akan cemberut dan air matanya mulai menggenang....


Catatan
Kisah ini terjadi di Bandung tahun 2011- 2012. Tahun 2013 kutulis untuk dibukukan (antologi bersama catlovers). Aku sudah menandatangani kontrak dengan Penerbit Plotpoint di Yogyakarta. Namun, belum sempat buku ini terbit, Plotpoint berhenti beroperasi. Kontrak terbit pun dibatalkan. 

Tulisan-tulisanku dalam naskah itu kuposting di Blog Arucing ini dengan beberapa penyesuaian agar nyaman dibaca.


Salam meow,

Komentar